Kisah ini merupakan sambungan dari cerita sebelumnya, ketika ibu mertua jatuh sakit dan kakak ipar kedua datang. Setelah kejadian itu, hidup kami tidak lagi sama. Seiring berjalannya waktu, kami mulai menghadapi situasi serupa yang membuat suasana rumah menjadi tidak nyaman.

Kakak ipar kedua sering memperlihatkan diri sebagai korban dari masalah rumah tangga yang ia alami. Cerita-ceritanya membuat banyak orang bersimpati padanya, termasuk kerabat dan tetangga. Awalnya, kami tidak terlalu memikirkan hal itu. Namun, seiring waktu, hal ini mulai berdampak langsung pada kami.

Beberapa kali saya mendapat teguran dari orang-orang yang mendesak agar saya dan istri menjaga hubungan baik dengan kakak ipar kedua. Teguran ini sangat mengejutkan karena kami tidak pernah sekalipun terlibat cekcok dengannya, apalagi bertengkar. Tidak ada konflik terbuka, hanya sikap kami yang mulai menjaga jarak setelah kejadian ibu mertua sakit. Langkah ini kami ambil bukan karena marah, tetapi karena rasa kecewa dan untuk menghindari permasalahan yang sama terulang kembali.

Namun, entah mengapa, kami merasa kakak ipar kedua justru memanfaatkan situasi ini. Ia kerap menempatkan dirinya sebagai pihak yang dipojokkan, sehingga kami terlihat seperti orang yang menguasai rumah dan bersikap kasar. Padahal, kami menjalani kehidupan seperti biasanya, tanpa ada niatan untuk menyinggung siapa pun.

Meski tidak ada konflik langsung, keberadaan kakak ipar kedua dan anaknya di rumah mulai memberikan tekanan bagi kami. Saya dan istri pun tidak jarang berselisih pendapat. Kebanyakan penyebabnya adalah situasi yang tidak kondusif akibat kehadiran mereka.

Kami akhirnya mencoba memperbaiki keadaan dengan berbicara kepada kakak ipar ketiga, satu-satunya laki-laki di keluarga istri saya. Harapan kami, ia dapat menjadi penengah yang bijak. Namun, respon yang kami dapatkan justru sebaliknya. Kakak ipar ketiga menganggap sikap kami kekanak-kanakan, seolah kami merasa risih dengan kehadiran kakak ipar kedua dan anaknya.

Padahal, yang kami inginkan hanyalah saling menghormati. Kakak ipar kedua memiliki anak, begitu juga kami. Namun, sering kali tanggung jawab atas anaknya justru dibebankan kepada kami atau ibu mertua. Kami tidak keberatan membantu, tetapi berharap agar ada batasan yang jelas dan rasa saling menghargai.

Namun, apa yang kami sampaikan justru dianggap berlebihan. Mereka menganggap kami terlalu sensitif dan tidak mampu menerima keadaan. Padahal, sikap kami bukan karena ingin menolak kehadiran mereka, melainkan untuk menjaga keseimbangan dalam rumah tangga dan memastikan semua pihak bisa hidup berdampingan tanpa merasa terbebani.

Situasi ini semakin menambah tekanan bagi kami. Kami merasa disalahpahami, bahkan oleh keluarga sendiri. Namun, di balik semua itu, kami tetap berusaha untuk mempertahankan hubungan baik sejauh yang kami mampu, meskipun sering kali harus mengorbankan perasaan kami sendiri.